Pemangkasan BI Rate: Terlalu Cepat, Terlalu Berisiko

Akril Abdillah

Jakarta— Keputusan Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 5,25%, pada Rapat Dewan Gubernur 16 Juli 2025, menjadi sorotan kritis banyak pihak. Meskipun tampak responsif terhadap tren inflasi yang menurun dan nilai tukar rupiah yang menguat, langkah ini justru mengundang pertanyaan mendasar: apakah BI sedang terburu-buru dalam mengambil kebijakan moneter, atau sedang berspekulasi atas fondasi makro yang belum stabil?

FORMASI Keuangan menilai bahwa keputusan ini tidak hanya terlalu dini, namun juga menyimpan risiko sistemik terhadap stabilitas makroekonomi nasional. Di tengah derasnya arus ketidakpastian global mulai dari tensi dagang yang kembali meningkat pasca kebijakan proteksionis Presiden AS Donald Trump, hingga sentimen risk-off yang menekan aliran modal ke negara berkembang BI seharusnya memperkuat pertahanan, bukan melonggarkannya.

Pemangkasan suku bunga di tengah ancaman eksternal yang belum mereda berpotensi memperlemah daya saing aset berdenominasi rupiah. Dalam situasi seperti ini, kebijakan moneter seharusnya menjadi bantalan terhadap volatilitas, bukan membuka ruang baru untuk gejolak. Apalagi jika depresiasi rupiah kembali terjadi akibat keluarnya dana asing, ruang BI untuk menaikkan kembali suku bunga akan menyempit dan itu jauh lebih berisiko.

Dari sisi domestik, transmisi kebijakan moneter juga belum optimal. Suku bunga kredit perbankan tetap tinggi dan tidak kompetitif. Ini menunjukkan bahwa problem utama bukan pada BI Rate itu sendiri, melainkan pada struktur suku bunga perbankan yang rigid dan efisiensinya yang rendah. Penurunan BI Rate dalam kondisi seperti ini hanya akan menjadi simbolik, bukan substansial.

Bank Indonesia tampaknya terlalu bergantung pada instrumen suku bunga sebagai tumpuan pertumbuhan. Padahal, pertumbuhan ekonomi tidak semata ditentukan oleh biaya pinjaman, tetapi oleh kepastian hukum, reformasi fiskal, dan iklim investasi yang kondusif. Tanpa reformasi struktural, penurunan bunga hanya akan mendorong konsumsi jangka pendek dan memperbesar potensi bubble utang konsumtif, bukan investasi produktif.

Selain itu, keputusan BI bertentangan dengan ekspektasi mayoritas analis dan ekonom. Dari 33 ekonom yang disurvei Bloomberg, lebih dari separuh memperkirakan suku bunga akan tetap dipertahankan. Ketidaksesuaian ini memperlihatkan lemahnya komunikasi kebijakan atau forward guidance BI, yang justru bisa menambah ketidakpastian dan spekulasi pasar.

Kami mengingatkan bahwa pelonggaran moneter yang dilakukan terlalu cepat, tanpa perhitungan terhadap siklus harga pangan, energi, dan volatilitas nilai tukar, sangat rentan terhadap overshooting. Jika inflasi kembali naik sementara ruang kebijakan semakin sempit, maka risiko ketidakstabilan ekonomi akan membesar.

Pada akhirnya, stabilitas harus menjadi prioritas. BI perlu menahan diri dari manuver jangka pendek yang belum tentu berdampak nyata bagi sektor riil. Penurunan BI Rate kali ini lebih terlihat sebagai langkah politis daripada keputusan teknokratik yang matang. Dalam situasi global dan domestik yang rapuh, kehati-hatian adalah kebijakan terbaik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *