Menjaga CAR, Menjaga Stabilitas Ekonomi Nasional: Pelajaran dari Bank Century dan Dunia

CAR bukan sekadar rasio ia adalah pondasi kepercayaan publik terhadap stabilitas ekonomi sebuah negara

Dalam dunia perbankan, ada satu istilah yang tak banyak dikenal masyarakat awam, namun justru menjadi benteng utama dalam menjaga kestabilan sistem keuangan nasional yakni Capital Adequacy Ratio atau CAR. Ibarat pondasi dalam sebuah bangunan, CAR menentukan sekuat apa sebuah bank mampu berdiri di tengah guncangan ekonomi dan badai risiko yang mengancam. Ketika CAR tergelincir ke titik rawan, bukan hanya bank yang terancam roboh, tapi kepercayaan masyarakat dan stabilitas ekonomi nasional bisa ikut runtuh.

CAR adalah indikator penting yang menunjukkan seberapa kuat modal sebuah bank dalam menanggung risiko kerugian. Semakin tinggi CAR, semakin besar ketahanan bank dalam menghadapi gejolak ekonomi. Sebaliknya, ketika CAR jatuh di bawah ambang batas yang ditentukan Bank Indonesia, maka bank tersebut dianggap rentan dan bahkan bisa menjadi ancaman sistemik bagi perekonomian.

Bayangkan sebuah bank yang mengelola dana masyarakat hingga triliunan rupiah. Dana ini disalurkan dalam bentuk pinjaman, yang tentunya memiliki potensi gagal bayar. Dalam kasus seperti ini, CAR berperan sebagai penyangga utama kerugian tidak boleh membebani dana nasabah, melainkan harus ditanggung oleh modal bank itu sendiri.

Sebagai ilustrasi sederhana, jika sebuah bank memiliki modal Rp100 miliar dan menyalurkan pinjaman sebesar Rp5 triliun, maka CAR-nya hanya 2%. Bila terjadi kredit macet sebesar Rp20 miliar, maka modal turun menjadi Rp80 miliar dan CAR turun ke 1,6%. Padahal, Bank Indonesia menetapkan ambang minimal CAR sebesar 8%. Ketika angka ini tak terpenuhi, bank harus segera menyuntikkan modal tambahan, atau menghadapi risiko sanksi hingga likuidasi.

Di Indonesia, kita masih mengingat dengan jelas krisis yang terjadi pada Bank Century pada tahun 2008. Saat krisis keuangan global mulai menyapu sistem perbankan dunia, Bank Century menunjukkan sinyal kelemahan yang mencemaskan. CAR-nya jatuh di bawah ambang minimum, bahkan sempat menyentuh angka negatif. Artinya, bank tersebut tidak lagi memiliki modal yang cukup untuk menyerap potensi kerugian sebuah sinyal bahaya yang mengindikasikan keruntuhan dalam waktu dekat.

Pemerintah pun turun tangan melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), menggelontorkan bailout senilai Rp6,7 triliun untuk menyelamatkan bank tersebut. Tujuannya kala itu adalah mencegah efek domino atau contagion effect terhadap bank-bank lain, yang berisiko mengguncang perekonomian nasional. Namun, tindakan penyelamatan ini menjadi kontroversi berkepanjangan, menimbulkan debat politik dan hukum yang belum sepenuhnya usai hingga kini.

Namun Indonesia bukan satu-satunya yang memiliki kisah kelam soal CAR. Dunia mencatat banyak kasus serupa, dan semuanya bermuara pada satu benang merah: ketika CAR tidak dijaga, maka kehancuran sistem keuangan tinggal menunggu waktu.

Lihat saja tragedi finansial terbesar di Amerika Serikat kebangkrutan Lehman Brothers pada 2008. Bank investasi raksasa itu ambruk karena memiliki struktur modal yang rapuh. Meskipun tidak disebut dengan istilah CAR secara langsung, rasio kecukupan modal mereka sangat tipis dibandingkan besarnya risiko yang diambil. Ketika aset-aset subprime mortgage mereka kehilangan nilai, Lehman tak punya bantalan cukup untuk menahan kerugian. Dunia pun terguncang krisis global pun meledak.

Di Inggris, Northern Rock mengalami hal serupa. Meski CAR-nya secara teknis masih memenuhi batas, ketergantungannya pada pendanaan jangka pendek membuatnya rentan. Saat krisis likuiditas menghantam, bank tak mampu bertahan. Terjadi bank run, dan pemerintah Inggris terpaksa menasionalisasi bank tersebut demi menyelamatkan sistem keuangan.

Kasus Banco Popular di Spanyol memperlihatkan bagaimana CAR yang terus menurun akibat kredit macet bisa membuat bank dinyatakan gagal oleh Uni Eropa. Diambil alih oleh Banco Santander hanya dengan harga 1 euro, kisah ini menjadi contoh nyata bahwa kejatuhan bank bisa terjadi sekejap jika fondasi permodalannya rapuh.

Hal serupa juga terjadi di India (Yes Bank) dan Siprus (Laiki Bank), di mana CAR yang lemah mempercepat kehancuran dan memaksa intervensi negara dalam skala besar. Bahkan, di Siprus, solusi ekstrem dilakukan: para nasabah besar dikenai pemotongan simpanan (bail-in) demi menyelamatkan sistem. Bayangkan bila itu terjadi di Indonesia.

Semua kasus di atas memberikan pelajaran penting bahwa CAR bukan sekadar angka, tapi cermin dari ketahanan, disiplin, dan integritas manajemen risiko dalam sebuah institusi keuangan. Ketika CAR kuat, masyarakat tenang, investasi tumbuh, dan ekonomi bergerak. Namun saat CAR melemah dan kepercayaan publik hilang, kehancuran bisa meluas dengan cepat.

Oleh karena itu, menjaga CAR adalah menjaga masa depan bangsa. Bank sentral dan regulator wajib memastikan bahwa setiap bank memiliki modal yang cukup untuk menyerap kerugian dan tetap berdiri kokoh di tengah gejolak. Di sisi lain, masyarakat juga berhak mengetahui kondisi kesehatan bank tempat mereka menabung atau berinvestasi.

Belajar dari kasus Century dan tragedi perbankan dunia, kita tak boleh lagi menyepelekan pentingnya rasio kecukupan modal. Karena saat CAR runtuh, bukan hanya bank yang jatuh tapi juga kepercayaan, stabilitas, dan harapan jutaan orang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *