Oleh: Akril Abdillah
Koordinator Nasional FORMASI Keuangan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bukanlah lembaga biasa. Ia adalah penjaga gawang terakhir kepercayaan publik terhadap sistem perbankan nasional. Ketika sebuah bank gagal, dan ketakutan melanda para nasabah, di situlah LPS hadir sebagai penjamin stabilitas, penyelamat simpanan, dan penguat kepercayaan.
Maka ketika proses seleksi Dewan Komisioner LPS dilakukan, semestinya ia menjadi agenda nasional yang penuh sorotan, terbuka, dan melibatkan publik seluas-luasnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya: tertutup, elitis, dan minim partisipasi. Sebanyak 26 nama disebut telah lolos seleksi administrasi oleh Kementerian Keuangan, namun publik tidak diberi tahu siapa mereka dan apa rekam jejak mereka. Ini bukan sekadar kelalaian administratif; ini ancaman serius terhadap prinsip akuntabilitas dalam demokrasi.
Kita tidak sedang memilih direksi korporasi swasta. Kita sedang bicara tentang siapa yang akan memegang kendali atas dana simpanan rakyat dan sistem keuangan nasional. Siapa yang duduk di kursi Dewan Komisioner LPS akan berperan dalam merumuskan respons terhadap krisis, menavigasi penyelamatan bank, dan menjaga keadilan dalam resolusi sistem keuangan.
Dengan kata lain, ini bukan semata urusan teknis atau soal kelayakan profesional. Ini juga soal keberpihakan. Apakah para calon memiliki komitmen untuk melindungi kepentingan rakyat kecil? Apakah mereka paham bahwa sistem keuangan harus adil, inklusif, dan tak lagi berpihak semata pada konglomerasi?
Sangat disayangkan, hingga saat ini belum ada satu pun forum publik yang disediakan untuk menguji para calon. Tidak ada paparan visi, tidak ada dengar pendapat, tidak ada keterlibatan masyarakat sipil. Bahkan daftar nama pun tak disebarluaskan secara resmi ke publik. Ini bentuk kemunduran dalam praktik tata kelola lembaga publik.
Kami di FORMASI Keuangan menegaskan: fit and proper test harus dilakukan secara terbuka. Lakukan siaran langsung. Libatkan akademisi, masyarakat sipil, dan korban dari kasus perbankan masa lalu. Karena pada akhirnya, legitimasi LPS bukan datang dari regulasi, tapi dari kepercayaan publik yang dibangun melalui transparansi.
Sejarah telah menunjukkan bahwa tertutupnya proses rekrutmen pejabat strategis seringkali menjadi pangkal masalah di kemudian hari mulai dari krisis kepercayaan, konflik kepentingan, hingga lemahnya perlindungan terhadap rakyat. Jangan biarkan LPS menjadi lembaga eksklusif yang hanya melayani kepentingan industri finansial, sementara nasabah kecil terus jadi korban.
Kita membutuhkan Dewan Komisioner LPS yang tak hanya cakap teknis, tapi juga punya keberanian moral dan integritas sosial. Yang tak hanya mampu menjaga neraca keuangan, tapi juga memperjuangkan keadilan sistemik.
LPS adalah milik publik, bukan milik elite finansial. Maka proses seleksinya pun harus seterbuka mungkin.
Hai, saya Akril Abdillah – penulis, penggerak, dan pembelajar. Saya suka membagikan insight tentang manajemen, kepemudaan, dan pembangunan.
