Pemerintah Harus Hati-Hati, Danantara Harus Waspada: Jangan Ulangi Pola Investasi Telkomsel di GoTo

Kasus investasi Telkomsel dalam GoTo menunjukkan bahwa kegembiraan di industri teknologi dapat berubah menjadi masalah keuangan yang besar. Pasalnya, tidak ada bukti bahwa nilai investasi awal yang besar dan ekspektasi tinggi terhadap sinergi bisnis akan menghasilkan hasil yang menguntungkan. Faktanya, kinerja keuangan Telkom pada tahun 2022 tertekan dengan laba bersih turun 18,46 persen. Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan harga saham GoTo dan kerugian investasi yang belum terealisasi atau tidak terealisasi (unrealized loss). Selisih nilainya hampir Rp10 triliun dibandingkan capaian tahun sebelumnya.

Muncul informasi bahwa Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara sedang mempertimbangkan untuk menjadi investor minoritas di entitas yang dihasilkan dari merger GoTo–Grab. Meskipun Danantara menegaskan bahwa keputusan investasi akan dibuat melalui pemeriksaan menyeluruh dan prinsip manajemen risiko yang ketat, pola ini masih mengingatkan pada sejarah Telkomsel: masuk ke sektor teknologi pada valuasi tinggi, menanggung risiko besar jika harga saham turun, dan berpotensi mencatat kerugian yang belum terealisasi. 

Telkomsel memulai investasi di GoTo dengan instrumen convertible bond senilai US$150 juta atau sekitar Rp2,17 triliun pada November 2020. Sebulan kemudian, Telkomsel menambah hak pembelian saham preferen senilai US$300 juta atau Rp4,35 triliun, meningkatkan eksposur modalnya. Telkomsel resmi memiliki porsi langsung di entitas yang dihasilkan oleh merger Gojek dan Tokopedia pada Mei 2021, yang memicu konversi obligasi konvertibel menjadi saham.

GoTo menggelar pendanaan pre-IPO pada November 2021 dengan harga 39 persen lebih tinggi dari harga Telkomsel. Secara nilai di atas kertas, investasi ini tampaknya menghasilkan keuntungan. Namun, kegembiraan pasar hanya bertahan singkat ketika GoTo resmi masuk ke Bursa Efek Indonesia pada April 2022 dengan harga IPO Rp338 per saham. Harga saham GoTo merosot ke Rp91 per saham menjelang akhir 2022, menyebabkan Telkomsel kehilangan Rp6,74 triliun belum terealisasi dan menekan kinerja Telkom. 

Kondisi ini menunjukkan bahwa keuntungan awal dari valuasi premium pasca-merger dapat dengan cepat hilang ketika mood pasar turun. Dalam situasi di mana Danantara bergabung dengan entitas GoTo–Grab dengan valuasi sekitar US$7 miliar atau Rp114 triliun, risikonya hampir sama, harga yang dibayar mungkin jauh di atas nilai wajar jika pasar melakukan perubahan.

Pola investasi Telkomsel di GoTo hampir sama dengan pola Danantara di GoTo–Grab, terutama dari segi strategis dan risiko. Keduanya masuk ke fase setelah merger, ketika valuasi berada di titik tertinggi dan pasar masih sangat gembira. Karena harga sering menunjukkan ekspektasi yang berlebihan daripada kinerja fundamental yang sudah terbukti, fase ini dalam pasar modal adalah periode paling rentan terhadap koreksi.

Pengalaman Telkomsel menunjukkan bahwa keuntungan awal yang menggembirakan dapat dengan cepat hilang. Meskipun harga pre-IPO meningkat, itu tampak menguntungkan, tetapi harga akhirnya turun dan menghasilkan kerugian triliunan rupiah dalam hitungan bulan. Senario ini dapat terulang jika Danantara tidak melakukan mitigasi risiko yang cukup. Apalagi, merger GoTo–Grab akan menghadapi banyak tantangan, seperti integrasi operasional lintas negara, persaingan ketat di industri ride-hailingdan e-commerce, dan tekanan dari pemerintah.

Untuk “menguji pasar teknologi”, pemerintah harus memastikan dana publik yang dikelola BPI Danantara tidak digunakan untuk spekulasi. Meskipun investasi dalam industri ini sangat penting untuk mendukung transformasi digital nasional, mereka harus didasarkan pada penelitian mendalam, proyeksi arus kas yang realistis, dan rencana keluar yang jelas. Tanpa itu, masyarakat akan melihat pola serupa kembali, dana besar masuk saat hype tinggi, nilai turun saat bisnis memerlukan hasil, dan negara mengalami kerugian.

Fokus utama investasi lembaga pengelola dana publik, seperti BUMN atau BPI , tidak boleh terbatas pada keuntungan capital gain jangka pendek. Meskipun sektor teknologi menjanjikan pertumbuhan, pasar modal berubah-ubah dan model bisnis start-up yang bergantung pada pembakaran modal masih rapuh. Pengalaman Telkomsel menunjukkan bahwa investasi besar dapat menjadi bumerang jika tanpa mitigasi khusus baik penyelidikan menyeluruh, analisis risiko yang cermat, dan proyeksi yang realistis. 

Meskipun sektor teknologi merupakan prospek masa depan yang menjanjikan, pemerintah tidak boleh menggunakan dana negara untuk “modal uji coba” dalam proyek berisiko tinggi yang sudah terbukti menghasilkan kerugian. Kehati-hatian bukan hanya pilihan karena ada kemiripan yang jelas antara Telkomsel dalam GoTo dan potensi Danantara dalam GoTo–Grab. Ini adalah kewajiban moral dan profesional pemerintah untuk melindungi aset negara dan uang rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *